Menyasar Filsafat Timur, Menukil Barat
Oleh: Mohammad Lutfi Maula (181310015)
Barangkali, Jacques Derrida menjadi
filsuf Barat yang belakangan ini pemikirannya telah menarik minat saya untuk
menelaahnya lebih dalam lagi ketimbang pemikiran-pemikiran filsuf Barat
lainnya. Dengan teori dekonstruksinya, filsuf kelahiran Aljazair yang kemudian
pindah ke Prancis ini telah menyita banyak sekali waktu saya untuk memahaminya.
Bagaimanapun memang tak mudah memahami pemikiran Derrida. Bagi saya pribadi,
memasuki pemikirannya serupa memasuki semakbelukar di tengah kegelapan.
Kita tahu, Derrida masyhur dengan teori
dekonstruksinya, yang menjadi awal mula kemunculan pemikiran
post-strukturalisme. Di mana ketika banyak filosof Barat kontemporer melulu
berurusan dengan logosentrisme, Derrida justru hadir untuk mengkritiknya. Secara
sederhana ada istilah yang pas unuk menggambarkan sosok Derrida; filsuf anti
kemapanan. Ya, post-strukturalis adalah ciri pemikiran yang anti dengan
kemapanan pemikiran-pemikiran sebelumnya. Dalam paham ini, dengan cara yang
amat problematis, post-strukturalis mencoba menerangkan bahwa paham-paham yang
telah ada di dunia ini, tidak pernah sempurna. Bertentangan dengan paham
strukturalisme. Maka dapat dikatakan
bahwa melalui dekonstruksi, Derrida menemukan makna dalam “teks” bukan sekedar
menghadirkan kembali makna yang asli dari teks, atau melihat teks dengan
objektif, atau dengan memahami keseluruhan teks, atau makna untuk diri sendiri
dan sebagainya seperti yang dikatakan oleh beberapa filosof Barat lainnya.
Cara yang ditawarkan oleh Derrida
adalah dalam memahami makna “teks” yang tidak boleh terus
mempertahankan makna yang lama (sudah ada) dan menentukan makna yang kemudian
mengagungkannya. Tetapi harus diperoleh suatu kebenaran yang sungguh-sungguh
baru dan menggambarkannya. Kebenaran ini diperoleh tanpa menyingkirkan kebenaran-kebenaran
atau makna-makna yang lalu (yang telah mendahuluinya). Setelah kebenaran ini
ditemukan, kita tidak boleh secara legitimasi menyatakan bahwa itulah
kebenarannya yang sesungguhnya atau absolut.
“Teks” dapat diinterpretasikan
sampai tidak terhingga, olehnya kita tidak perlu mengambil kesimpulan karena
bagi Derrida kebenaran tidak harus tunggal, absolut dan universal. Makna yang
diperoleh bukan tiruan atau dari pemikiran penulis sendiri atau pembacanya,
tetapi sungguh baru. Makna diperoleh dari teks itu sesuatu yang tidak
terpikirkan bahkan oleh penulisnya. Kebenaran atau makna yang diperoleh
bukanlah satu-satunya kebenaran, tetapi ada kesempatan untuk ditemukan
kebenaran baru, sampai seterusnya.
Melalui pemikirannya ini, saya
mencoba untuk mengurai esensi Filsafat Timur.
Pertama-tama, mengapa harus ada
filsafat Timur, dan Barat? Saya sendiri, tidak terlalu memahami mengapa oposisi
biner seperti ini mesti terus dilanggengkan? Barat-Timur, Timur-Barat. Mengapa
tidak bisa, misalnya, menyebut buah dari pemikiran para filosof itu sebagai
filsafat saja? Tanpa embel Barat atau Timur, misalnya, baik pemikiran itu
dikemukakan oleh filosof yang hidup dan lahir di dunia Barat atau Timur. Bukankah
sepanjang peradaban ilmu pengetahuan, dan bahkan kebudayaan mengalami akumulasi,
sehingga kelindan tersebut tak dapat dipisahkan?
Lebih jauh, dalam tulisan ini saya
ingin memfokuskan kealergian orang-orang Timur terhadap Orientalisme. Banyak
orang meyakini bahwa para Orientalisme mengkaji Timur tak ubahnya bentuk
penjajahan terhadap Timur, namun dengan cara yang lebih terstruktur dan elegan.
Saya tak bisa menampik fakta bahwa ada banyak sekali orientalis bobrok yang
memang berpikir dengan waham tersebut. Namun, di lain sisi, mesti kita ketahui
bahwa banyak juga orientalis yang murni mengkaji Timur demi kemajuan peradaban
Timur itu sendiri. Saya menduga, baik kealergian terhadap Orientalis atau
bahkan kepicikan banyak orientalis, bermula karena adanya oposisi biner antara
Timur-Barat.
Dan terakhir, fakta yang tak bisa
ditampik pun, banyak juga orang-orang Timur yang mengkaji kebudayaan dan ilmu
pengetahuan Barat (oksidentalisme), baik yang bertujuan mengkaji demi
kemaslahatan bersama atau yang mengkaji karena ingin menjatuhkan kebudayaan
Barat. Maka jika kita tetap ngotot menyebut para orientalis sebagai proyek
hegemoni terhadap Timur belaka, lantas bagaimana kita akan menyebut orang-orang
Timur yang mengkaji Barat dengan segala kepicikannya? (*)
0 Komentar