(Tulisan ini pernah dimuat di Magrib.id)

Gesit mulut Nurman merapalkan doa-doa dan semua mantra yang ia hafal—mantra yang pernah diajarkan mendiang kakeknya—ketika ia terperangah melihat seekor harimau di tengah hutan desa Cikulur. Di tengah kekalutan itu, Nurman berusaha mundur perlahan-lahan. Angin subuh yang dingin merambah bulu kuduknya. Gesekan-gesekan ilalang yang berembun, membuat bulu-bulu di betisnya juga ikut bergidik. Ia ingin sesegera mungkin pergi ke balai desa, menyiarkan kabar pada tetua desa tentang apa yang dilihatnya dan pasrah akan nasib durian-durian di hutan itu yang belum sempat dipungut olehnya.

Sambil berjalan mundur, Nurman melihat harimau di hadapannya masih terpejam. Namun, sesekali harimau itu menguap, menonjolkan taring-taring tajamnya yang membuat mulut Nurman semakin lincah merapalkan doa-doa dan mantra-mantra. Ia belum siap berbalik sebelum berada lebih jauh dari letak si harimau.

Tetapi ketika ia berusaha meredam suara apa pun yang dapat keluar tersebab gerakan-gerakan luar-dalam tubuhnya, khususnya suara angin dari lubang bokongnya yang sering kali meninggalkan gema panjang seandainya ia tak lagi kuasa menahan dorongan tersebut, alam justru tak bersahabat dengannya: angin September yang semakin kencang dan dingin subuh itu membikin pohon-pohon di sekeliling Nurman mengempaskan reranting yang kemudian berjatuhan di sekitaran tempat harimau itu tertidur. Sekelumit ranting yang jatuh di sekitaran ekor harimau itu bahkan berhasil membuat harimau itu mengibaskan ekornya. Meskipun mata harimau itu masih terpejam, kibasan-kibasan kecil yang dilakukan harimau itu pada ekornya kian membikin ritme jantung Nurman tak beraturan.

Sekilas Nurman menerawang ke arah langit. Matanya tampak liar seolah sedang memprotes kepada Sang Pengatur Alam. Sebagaimana sudah ia duga, tak ada bias fajar yang membelai pucuk-pucuk pohon durian. Tak ada setitik pun pendar matahari yang menerobos sela-sela pepohonan dan membuat petak-petak cahaya di tanah seperti pagi-pagi biasanya: yang tampak di langit hanyalah—meskipun agak kabur—bulan yang serupa garis tipis lengkung.

Dengan gamang akhirnya Nurman membalikkan badannya. Namun, hanya sepersekian detik kemudian, ia terkesiap pada langkah-langkah awal sebelum ia benar-benar berlari. Tanpa sadar ia menginjak ranting-ranting. Kakinya tergelincir, tapi tubuhnya tidak terpelanting. Ia memaki sedang. Sekelebat ia menoleh ke belakang. Puji Tuhan, batinnya. Harimau itu masih lelap dalam tidurnya. Setelah itu gegas ia berlari lintang pukang menuju balai desa.

Sambil berlari, gesit Nurman meliuk-liuk menghindari cabang-cabang pohon yang menjulang. Sesekali ia masih menoleh ke belakang. Sekadar memastikan bahwa harimau itu tidak mengejarnya, tapi tak ada seekor harimau pun yang menguntitnya. Mungkin harimau itu masih terpekur lelap dalam mimpinya, pikir Nurman.

Kendati sering dihadapkan dengan berbagai hewan buas saat berada di tengah hutan, bukan tanpa alasan jika nyalinya ciut saat berpapasan dengan seekor harimau. Bagaimanapun, telah lama harimau menjadi legenda yang keberadaannya hampir tidak pernah dibicarakan lagi oleh siapa pun di desanya. Selama ini tak pernah terlintas di pikirannya, juga dalam pikiran orang-orang yang tinggal di desa Cikulur, bahwa tanpa sepengetahuan mereka masih ada seekor harimau yang hidup di tengah hutan desa; meskipun ingatan terhadap pembantaian massal harimau beberapa tahun silam di desa itu masih melekat di kepala siapa pun yang ikut menyaksikannya waktu itu.

Tetapi lain halnya dengan Nurman, ingatan akan pembantaian itu tidak terlalu berarti bagi kebanyakan warga desa. Sebab, sampai saat ini hanya Nurman yang merasa dihantui oleh ingatan tersebut. Setiap mengingatnya, Nurman selalu teringat kembali akan betapa ganjil kematian kakeknya.

***

Kakek Nurman meninggal lima belas tahun yang lalu. Kakeknya dikenal sebagai jawara di desa Cikulur. Sebagian warga desa menaruh hormat pada kakek Nurman karena sikapnya yang jatmika. Tetapi sebagian yang lain, dengan atau tanpa alasan yang jelas, tampak membenci kakeknya.

Kakeknya dikenal senang memelihara banyak hewan. Mulai dari hewan-hewan ternak seperti kambing, kerbau, beberapa hewan unggas hingga sekelumit hewan buas. Kakeknya pernah memelihara dua ekor ajak dan seekor harimau yang ia temukan sekarat di tengah hutan. Semua hewan peliharaannya jinak di bawah kendalinya. Ada mantra-mantra khusus untuk menjinakkan hewan-hewan buas, ucap kakeknya suatu waktu. Dan mantra-mantra itulah yang kemudian diajarkan sang kakek pada Nurman.

Namun, apa yang lebih diingat oleh Nurman, juga oleh warga desa, ialah perkara kematian sang kakek yang dianggap janggal; kakeknya ditemukan mati di dalam kandang harimau peliharaannya sendiri. Kematian itu ganjil bagi banyak warga desa mengingat betapa akrab hubungan sang kakek dengan satu-satunya harimau yang pernah ia pelihara selama hidupnya itu.

Tetapi bagi segelintir orang bijak di desa Cikulur, kematian itu tidaklah ganjil. Seharmonis apa pun hubungan seorang manusia dengan hewan peliharaannya, hewan tetaplah hewan; hewan tidak bisa berpikir, ucap orang-orang bijak itu setiap warga desa memperbincangkan kematian kakek Nurman. Banyak cerita yang sering dikisahkan orang-orang bijak itu tentang bagaimana kejamnya hewan peliharaan yang tak tahu rasa terima kasih pada majikannya. Salah satunya yang masyhur diceritakan ialah “Kisah Penggembala Kambing yang Mati Dibunuh oleh Serigala yang Sempat Si Gembala Pelihara Sebelumnya”.

***

Sesampainya di balai desa dengan nafas terengah-engah, Nurman melihat Pak Masykur, salah satu petugas balai desa sekaligus tetua desa Cikulur, sedang duduk santai di lantai depan sambil menyeruput kopi. Balai desa masih sepi, hanya ada Pak Masykur seorang.

“Pak... harimau... Pak,” lapor Nurman tergagap.

Mendengar laporan Nurman yang serupa geletar petir di siang bolong itu, tiba-tiba Pak Masykur bangkit dari duduknya untuk kemudian memasang kuda-kuda silat: ia menyilangkan kedua lengannya; lengan kanan bertumpu pada lengan kiri namun kedua pergelangan saling bersinggungan satu sama lain; dan kedua telapak tangannya membuat sedikit gerakan asimetris seraya dengan sedikit lompatan kecil ia mengentakkan kedua kakinya yang membuat meja di pelataran itu sedikit bergoyang.  Namun kuda-kuda silatnya itu tak bertahan lama. Pada detik-detik yang terasa cepat baginya, Pak Masykur tersadar bahwa refleks tubuhnya berlebihan. Akhirnya, dengan wajah agak kemerahan, sambil menahan ngilu pada pinggangnya, ia menggapai tempat duduknya seraya meminta Nurman bersumpah tentang apa yang dilihat pemuda itu bukanlah sebuah halusinasi.

Sambil berusaha mengatur nafasnya, dengan mulut yang masih terbata-bata, Nurman bersimpuh dan bersumpah di hadapan Pak Masykur.

Mendengar sumpah serta polah dan tatapan pemuda di hadapannya, Pak Masykur langsung memercayainya. Gegas ia masuk ke dalam kantor mengambil laras senapan dan jaring dan tali. Sambil menenteng laras senapan, ia memberikan jaring dan tali tersebut seraya meminta Nurman menunjukkan jalan ke tempat hewan itu berdiam.

***

Mereka berjarak kurang lebih sepuluh langkah dari harimau itu. Benar-benar harimau, ucap Pak Masykur hampir tanpa suara meyakinkan diri sendiri. Keduanya melihat harimau itu masih terpekur lelap. Sukar dipercaya masih ada seekor harimau yang hidup di desa Cikulur, pikir Pak Masykur. Perkiraannya lima belas tahun yang lalu, bahwa semua harimau di desa sudah ia musnahkan, ternyata salah besar. Tanpa pikir panjang ia mengokang senapannya, membidik kepala harimau itu lalu menembaknya.

Ada rona kepuasan terpacak pada wajah Pak Masykur seusai peluru senapannya bersarang tepat di kepala harimau itu. Matanya berbinar-binar. Ia bahkan tak menggubris cericit burung-burung pipit yang beterbangan tak keruan atau suara rintih yang keluar dari mulut meong congkok setelah letupan tersebut. Tak berselang lama ia berjalan menghampiri mayat harimau itu sambil menyunggingkan senyum; sebuah senyum penuh kemenangan: senyum yang sekilas tampak persis dengan senyum yang biasanya tersungging di bibir orang-orang yang keluar dari meja perjudian dengan mengantongi segepok uang.

Namun, hal sebaliknya justru terjadi pada Nurman usai melihat penembakan tersebut. Tak tampak rona bahagia sedikit pun pada wajahnya. Nurman merasa ada yang ganjil dengan perasaannya. Selepas peluru itu melesat dan telak mengenai tempurung kepala harimau tersebut, tiba-tiba kepalanya menjadi pening. Ia merasa ingat sesuatu, seolah-olah letupan senapan itu menjadi semacam angin berembus yang mengobarkan kembali api ingatannya yang hampir padam, yang membuatnya teringat kembali akan peristiwa ribut-ribut pada malam sebelum kematian kakeknya.

Nurman ingat, malam itu dia sempat melihat Pak Masykur berada di rumahnya, lengkap dengan seragam beserta senapannya sedang bertamu. Sayup-sayup Nurman sempat mendengar kakeknya bersilang pendapat dengan Pak Masykur. Ia mendengarkan dari balik bilik kamarnya namun ia tidak pernah tahu apa yang keduanya perdebatkan.  Pada momen-momen itulah ia ingat akan suara letupan senapan serupa pernah terngiang di telinganya malam itu. Ada ribut-ribut sedikit setelah letupan senapan itu. Nurman penasaran dengan apa yang terjadi di luar biliknya, tapi ia memilih untuk tidak keluar dan mengintip apa yang sedang terjadi; hal yang ia rasa patut dilakukan oleh seorang bocah sepertinya.

Mengingat kejadian malam itu, semakin pening kepala Nurman dibuatnya. Sejatinya ia tidak pernah ingin mengingat kembali apa yang terjadi di pagi hari selepas malam ribut-ribut tersebut. Ia berusaha mengenyahkan ingatan akan pagi di mana ia membeku menatap jasad kakeknya yang tergeletak di kandang harimau di tepi rumahnya. Ia enggan mengingat jasad kakeknya yang di beberapa bagian sudah tercabik-cabik itu. Namun sial baginya, kelebatan ingatan itu tetap melintas di kepalanya dan membikin dirinya hampir semaput.

Pada detik-detik yang terasa lambat baginya, Nurman berusaha menenangkan diri. Dengan separuh tenaga yang tersisa, kedua tangannya berupaya merengkuh batang pohon durian muda di sisinya. Tetapi tak berselang lama, ketika otaknya belum mampu berpikir jernih, sayup-sayup Nurman mendengar sebuah bisikan yang ia tak tahu datangnya dari mana:

Aku tidak membunuh kakekmu.” (*)

Serang, 2020