(Tulisan ini pernah dimuat di alif.id)
Judul : Dakwah dan Kuasa, Jalan Terjal Ikhwanul Muslimin dalam Pentas Politik Mesir
Penulis : Ahmad Rizky M. Umar
Penerbit : Basabasi
Cetakan : pertama, Januari 2020
Tebal : 264 Halaman
ISBN : 978-623-7290-55-1
Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah
Turki Usmani pada 1924, wacana kebangkitan ‘Islam’ merebak ke seluruh penjuru
dunia. Runtuhnya dinasti Islam terakhir tersebut, menyulut semangat pelbagai
organisasi Islam untuk mendirikan kembali sebuah negara berasaskan ‘Syariah Islam'.
Di Mesir, salah satu organisasi yang paling santer terdengar ialah Ikhwanul Muslimin—untuk
selanjutnya disebut IM.
IM pertama kali
didirikan oleh Hasan Al-Banna pada 1928. Ideologi IM berangkat dari persepsi
Hasan Al-Banna tentang Islam yang komprehensif, “Islam adalah negara dan tanah
air, pemerintahan dan umat, peradaban dan undang-undang serta jihad dan dakwah”,
atau biasa disederhanakan sebagai Islam huwal hal (Islam adalah solusi).
Bertolak dari
ideologi tersebut, membuat IM sulit mendapatkan ruang di kancah politik Mesir.
Sebab, cara pandang IM dianggap terlalu fundamentalis dan 'membahayakan'. Pasalnya,
pemerintah Mesir saat itu meyakini bahwa 'esensi' perjuangan Islam ialah memberikan
kesejahteraan kepada semua manusia tanpa menegasikan pemeluk agama minoritas,
alih-alih memaksakan kehendak untuk mendirikan 'negara Islam'. Akhirnya, 'lslamisme'
yang dicanangkan IM dianggap tidak relevan. Bahkan, keberadaan IM mulai
dianggap sebagai 'parasit'.
Kendati
dikekang pemerintah, IM tetap konsisten bergerak sebagai oposisi selama hampir
50 tahun menjadi 'hantu'. Mereka baru menampilkan diri kembali setelah Hosni
Mubarak jatuh pada tahun 2011. Dan, setahun kemudian, mereka memenangi Pemilu
dan sukses mendudukkan Mohammad Morsy, kader terbaik mereka, sebagai Presiden
Mesir. Hal tersebut menjadi fenomena menarik bagi para pengkaji Islam dan demokrasi.
Sebab, fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan ambiguitas yang sampai saat ini
masih sering dicari jawabannya: apakah Islam bisa kompatibel dengan demokrasi? Tetapi
kemudian, kemenangan itu tidak berlangsung lama. Pada 2013, petualangan politik
IM kembali menemukan kegagalannya setelah Morsy digulingkan oleh kudeta militer.
Dinamika
kemenangan dan kejatuhan IM dalam pentas politik Mesir itulah yang berusaha
dibabarkan oleh Ahmad Rizky M. Umar secara komprehensif melalui buku
terbarunya: Dakwah & Kuasa: Jalan Terjal Ikhwanul Muslimin dalam Pentas
Politik Mesir, (Basabasi, 2020). Buku ini diolah dari skripsi penulis untuk
program S1 di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, Universitas
Gadjah Mada (Juli 2013) berjudul “Perjuangan Hegemonik Ikhwanul Muslimin
Setelah Kejatuhan Hosni Mubarak”.
Dalam usahanya
menyusun keping-keping sejarah pergerakan IM sejak kepemimpinan Hasan Al-Banna
hingga mengurai friksi yang terjadi antara IM dengan otoritas pemerintah Mesir—mulai
dari era Raja Farouk I hingga lengsernya Hoesni Mubarak, Rizky memulainya
dengan mengurai 'Islamisme' terlebih dahulu.
Dalam buku ini,
ia berusaha menggunakan perspektif post-Marxisme untuk mengelaborasi Islamisme,
sehingga Islamisme tidak hanya dilihat pada basis ideologi semata, tetapi juga
pada sejauh mana ideologi tersebut diartikulasikan pada ranah politik. Lalu
berlanjut mengacu pada elaborasi Bobby Said yang mencoba untuk melakukan
konseptualisasi ulang atas Islamisme sebagai sebuah wacana politik yang
berusaha mengartikulasikan Islam dalam tatanan politik yang berkembang di dunia
muslim. Lain halnya dengan tiga pendekatan yang biasa digunakan para pakar Islam
dan Demokrasi untuk melihat esensi ‘Islamisme'; pendekatan liberal-modernis,
pendekatan ekonomi-politik, dan pendekatan pasca-strukturalisme.
Menurutnya,
ketiga pendekatan itu belum mampu mengurai Islamisme sampai ke taraf paling
dasariah. Sebab, pendekatan liberal-modernis melulu menempatkan Islamisme
sebagai apa yang “tetap” dan “tradisional”--pendekatan ini jamak memandang
Islam secara monolitik dengan mengabaikan pluralitas kekuatan-kekuatan sosial
yang lahir justru dari rahim Islamisme sendiri, sehingga pandangan liberal-modernis
atas Islamisme justru terjebak pada overgeneralisasi atas realitas-realitas
yang terjadi pada dunia Islam. Sedang pendekatan ekonomi-politik—pendekatan
yang identik dengan Marxisme, kendati dianggap sebagai alternatif atas
“gagalnya” pendekatan modernisasi, tetapi kemudian, pandangan ini pun dianggap
tidak relevan karena terlalu deterministik dalam memandang realitas dunia Islam;
Marxisme meletakan determinasi ekonomi atas suprastruktur yang membentuk
realitas. Adapun pendekatan pasca-strukturalisme, hanya melihat Islam sebagai
sesuatu yang “bersifat diskurfis”, yang maknanya akan sangat bergantung sejauh
mana ia diartikulasikan dalam ranah politik, sehingga meniscayakan tafsir yang
berbeda-beda oleh masing-masing kelompok dan artikulasi kepentingannya. Akhirnya,
melalui perspektif post-marxisme Rizky sampai pada kesimpulannya bahwa, “Islamisme
sejatinya adalah sebuah proyek untuk membangun 'hegemoni' baru dengan
menjadikan Islam sebagai referensi utama.” (hal 52)
Setelah
berhasil mengurai esensi Islamisme, buku ini mulai memfokuskan pembahasan pada
wacana hegemonik yang hendak dibangun oleh IM di panggung politik Mesir. Rizky
berusaha mengemas fragmen sejarah pergerakan IM dalam bingkai yang utuh; ia
merunut pelbagai lektur yang menjabarkan asal-usul IM beserta wacana
kebangkitan Islam yang dicanangkannya; kemudian represi terhadap IM di era
Presiden Gamal Abdel Nasser pasca-revolusi Mesir 1952; lalu berlanjut ke “pergerakan
bawah tanah” IM hingga kemunculannya kembali; dan mengakhirinya dengan
pembahasan batas-batas perjuangan hegemonik IM pada 2011-2013.
Buku ini tidak
hanya berhasil menyoroti kiprah IM dalam pentas politik Mesir, tetapi juga
berhasil menelisik seberapa besar dampak pergerakan IM selama ini. Seumpama memiliki
indra ke-enam, Rizky berhasil melihat serta menyingkap keberadaan hantu
Islamisme IM kepada sidang pembaca. Ia berhasil menjelaskan secara detail tentang
betapa “meresahkannya” hantu tersebut di pentas politik Mesir serta menunjuk
sederet nama tokoh IM yang berusaha menjaga “arwah” tersebut tetap hidup selama
ini.
Hanya saja, setelah
rampung membaca buku ini saya tidak menemukan studi komparatif antara IM dengan
organisasi muslim Indonesia sebagaimana dijanjikan Rizky pada pengantarnya.
Sebab di akhir bab buku ini, Rizky hanya menutupnya dengan mewanti-wanti
organisasi muslim Indonesia untuk lebih waspada terhadap “godaan-godaan” hantu
Islamisme ihwal wacana membangun hegemonik di dalam negeri yang meridai adanya
pluralitas keberagamaan. Alih-alih mengajukan sebuah perbandingan, melalui teks
berjudul “Pelajaran Untuk Indonesia”, Rizky hanya memberikan semacam telaah
reflektif belaka.
Kiranya Rizky
benar-benar menyajikan studi komparatif, saya rasa studi tersebut dapat
menambah daya pikat buku ini. Bagaimanapun, “hantu” serupa IM pernah (atau
barangkali masih) bergentayangan di Indonesia. Dan hal tersebut jelas dapat
menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. (*)
0 Komentar