(Tulisan ini pernah dimuat di dialektikareview.org)

Saat menjabat sebagai dosen di kampusnya, Soe Hok Gie pernah menulis sebuah esai bertajuk “Kenangan-Kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-Dosen Juga Perlu Dikontrol” yang membahas kebobrokan dosen-dosen UI ketika menerapkan sistem pembelajaran untuk mahasiswanya. Ia secara telanjang memaparkan bahwa sebagian dosen yang mengajar di UI, tak sedikit juga yang bodoh dan sering membolos. Bahkan, ada seorang dosen yang ketahuan meminta mahasiswanya menerjemahkan teks bahasa Inggris, dan memakai hasil terjemahan itu sebagai bahan ajar di kelasnya.

Ya, membaca kembali tulisan-tulisan Soe Hok Gie, kadang membuat saya terenyuh. Jiwa aktivis saya meronta-ronta—meski saya sadar bahwa saya hanya seorang introvert yang dunianya gak pernah jauh-jauh dari kosan-kampus belaka. Sebab, apa yang pernah Gie tuliskan tentang kondisi atau wajah Universitas di jaman Orla dan Orba, bagi saya, hampir semua masih terasa amat relevan dengan kondisi sistem pendidikan perguruan tinggi kita saat ini. Banyak kebobrokan yang belum diperbaiki setelah bertahun-tahun yang lalu Gie telah mengkritisi kebobrokan sistem perguruan tinggi Indonesia untuk urusan mendidik mahasiswanya.
Misal, sekarang kita jarang menemukan atau membaca sebuah berita tentang dosen-dosen mengadakan lomba menulis esai ilmiah, atau berita tentang dosen-dosen sedang berusaha merekrut mahasiswa untuk melakukan penelitian bersama, atau berita dosen sedang melakukan hal-hal bermanfaat lainnya. Yang ada, kita lebih sering menemukan sebuah berita tentang dosen yang ketahuan mencabuli mahasiswinya. Dosen-dosen sekarang memang.. ya seperti itulah. Tetapi, tidak semua dosen. Tentu. Ada juga dosen-dosen yang kompeten. Namun, tampaknya dosen seperti itu hanya ada segelintir saja. Jumlahnya seperti buih dalam riak-riak gelombang. Paling banter kita lebih sering berjumpa dengan dosen-dosen yang ngajarnya acakadut. Yang menulis menyalin buku referensi lalu menjualnya ke mahasiswa dengan harga yang tidak manusiawi; sebuah buku berjumlah tak lebih dari 100 halaman yang dicetak dengan kertas hvs dan dijahit asal-asalan, dengan gambar di sampul buku yang nyolong dari gambar di Google, lalu dijual dengan harga 125.000, apakah itu harga yang manusiawi? Tentu saja tidak perlu kita bandingkan dengan buku-buku yang jauh lebih berkualitas dan harganya lebih manusiawi.
Terlalu banyak fakta-fakta yang membuat saya tertawa getir saat mengetahui kondisi kampus saat ini—atau paling tidak kondisi kampus saya jika tidak ingin menggeneralisasi kampus-kampus di Indonesia.
Ya, sependek pergulatan saya di dunia kampus, bagi saya, dunia kampus saat ini memang tak ubahnya dunia persulapan. Kita bisa mencirikannya dari pelbagai hal. Saya melihat di dalam dunia persulapan ini, para master selalu meminta banyak pesulap mereka yang sudah mereka gaji besar untuk menyebar ke seluruh penjuru negeri. Sebagian mereka bekerja untuk mengelabui orang pemerintahan dengan memanipulasi draf-draf prestasi untuk mendapatkan akreditasi yang baik, meski mereka tahu bahwa dunia persulapan mereka sedang tidak baik-baik saja. Dan, sebagian lain ada yang bertugas menghipnotis siswa-siswa yang baru lulus agar memasuki dunia persulapan. Pesulap-pesulap itu melakukan segala cara untuk menghasut siswa-siswa itu. Ada yang menyebar spanduk-spanduk penuh keterangan tentang jasa-jasa yang mereka berikan beserta bayarannya, hingga mereka meminta beberapa relawan, anak didik mereka yang mereka bayar, untuk mengunjungi berbagai sekolah menyiarkan dengan hangat sebuah kabar tentang dunia persulapan mereka yang sedang menerima siswa baru seraya menjelaskan bahwa, dunia persulapan sangat penting digeluti—tentu dengan embel-embel guna menunjang kesuksesan di masa depan.
Setelah siswa yang baru lulus sekolah menengah itu tergiur, sebagian besar benar-benar memasuki dunia persulapan itu. Sayang, siswa-siswa itu tidak pernah sadar bahwa dunia persulapan, adalah dunia tipu muslihat belaka. Setelah memasuki dunia persulapan, siswa-siswa baru itu akan menempuh jalan “kesuksesannya” masing-masing. Sebagian mengambil jurusan sulap mengeluarkan kelinci melalui topi. Sebagian yang lain mengambil jurusan sulap membelah tubuh seseorang. Atau, ada juga yang mengambil jurusan menjadi asisten pesulap yang baik dan benar dan yang lain tentu mengambil jurusan-jurusan sulap lainnya.
Siswa-siswa itu berangkat memasuki dunia persulapan dengan pikiran yang lugu. Mereka tidak tahu bahwa di dalam kelas sulap, sebenarnya mereka tidak akan diajarkan tentang mantra-mantra atau trik-trik tertentu agak kelak menjadi pesulap yang handal. Karena di kelas mereka hanya akan menjadi pecundang—mereka seperti disekap di sebuah ruangan pengap yang sesak dengan tipu-tipu muslihat dan tidak mampu membebaskan diri.
Pada akhirnya, sebagian siswa itu akan merasa pesimis setelah menyimpulkan bahwa dunia persulapan yang konon katanya baik untuk menunjang kesuksesan tersebut, hanyalah tempat sampah yang sesak dengan kebohongan yang semakin lama kian memadati tong sampah itu. Dan, mereka akhirnya pasrah dengan keadaan. Mereka dikalahkan keadaan. Karena bagi siswa itu, yang terpenting ialah ijazah sulapnya belaka. Mereka tidak peduli sekalipun lulus tidak mampu jadi pesulap yang handal. Pun mereka juga tidak peduli, meski mereka tahu, bahwa dunia persulapan mereka sedang tidak baik-baik saja. Namun demikian, sialnya, sampai saat ini, banyak master-master mereka yang tak ubahnya kelinci dalam topi pesulap. (*)