(Tulisan ini pernah dimuat di Kolom detik.com)


Judul Buku: Kisah-kisah Perdagangan Paling GemilangPenulis: Ben Sohib; Penerbit: Banana, Februari 2020; Tebal: 124 Halaman


Dalam Poetics, Aristoteles menyatakan bahwa karya sastra adalah sebentuk mimesis (representasi alam). Lebih jauh lagi, dengan tegas dia menganggap karya sastra hanya akan jadi bahan "tertawaan" bila tidak merefleksikan keadaan atau realitas empirisnya. Tentu saja pandangan ini berseberangan dengan para pemikir generasi berikutnya seperti Jorge Luis Borges, misalnya.

Tetapi terlepas dari perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya "karya sastra yang baik" itu, boleh dibilang semesta cerpen Ben Sohib cenderung berkiblat pada kredo mimesis Aristoteles tersebut. Melalui kumpulan cerpen perdananya yang mengambil Jakarta sebagai latar tempat hampir keseluruhan cerpen-cerpennya, Ben merepresentasikan praktik-praktik perdagangan yang kadang gelap, licik, hingga suram sebagai mimesisnya.

Meski bukan tema satu-satunya, praktik dunia perdagangan mendapatkan porsi yang amat besar dalam buku ini. Tetapi perlu diketahui bahwa pembaca tak akan menjumpai kisah-kisah perdagangan paling gemilang dalam artian harfiahnya --sebagaimana judul buku ini.

Alih-alih menyuguhkan riwayat atau kisah hidup seorang pedagang sukses, misalnya, Ben justru berisi kisah-kisah perdagangan yang suram namun diceritakan dengan cara yang jenaka: kisah-kisah tragedi yang dibalut dengan komedi. Kita tahu, tragedi dan komedi adalah dua tema besar nan dikotomis dalam kanvas kehidupan kita yang ironisnya, alih-alih saling menafikan satu sama lain, keduanya justru sering kali tampak berkelindan.

Dalam kancah kesusastraan kita telah banyak pengarang yang mengusung kelindan tragedi dan komedi sebagai tema utama karyanya, sehingga karya-karya yang penuh humor gelap (black comedy) atau karya yang lahir untuk memparodikan suatu tragedi sangat mudah ditemui. Sebut saja misalnya Arafat Nur dengan novelnya Lampuki (Serambi Ilmu, 2011), yang hampir sepanjang cerita dipenuhi narasi berhumor gelap yang cenderung sinis dan sarkas.

Atau, AS Laksana dengan kumpulan cerpennya, Murjangkung: Cerita Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu (Gagas Media, 2013), yang memparodikan tragedi sejarah penaklukan Batavia dan kisah-kisah tragedi lainnya.

Tetapi berlainan dengan kebanyakan pengarang, narasi-narasi humoristis yang disajikan Ben Sohib dalam buku ini tak kelewat gelap dan hanya ada satu tragedi --jika boleh dikatakan demikian-- yang ia parodikan. Parodi itu terpacak dalam cerpen Don Quixote Tak Lagi Memerangi Kincir Angin, sebuah parodi atas legenda Don Quixote yang masyhur itu.

Dalam kisah-kisah suram namun juga komikal di buku ini, Ben cenderung membikin pembacanya untuk tergelak-gelak alih-alih berduka meratapi nasib tokoh-tokoh gubahannya. Ini berlainan dengan lazimnya karya-karya yang sarat humor gelap atau parodi yang, kita tahu, melulu berupaya membikin pembacanya meratapi kegetiran di sela-sela narasi komedi.


Hal itu langsung dapat ditemui sejak cerpen pembuka bertajuk Para Penjual Rumah Ustadzah Nung. Cerpen ini berkisah tentang lika-liku kehidupan tokoh Abdullah, anak bungsu Ustadzah Nung yang manja nan lugu yang merengek ingin dinikahi dengan cinta pertamanya sejak SLTA, Lola, yang nahasnya berujung menjadi tragedi penjualan rumah tua Ustadzah Nung oleh makelar tanah yang licik.

Melalui cerpen tersebut, pembaca dapat melihat bagaimana sepanjang cerita, dengan narasi-narasi yang memikat dan juga jenaka, Ben berupaya membikin pembaca tergelak melihat keluguan si tokoh utama tanpa memersuasi pembaca untuk bersimpati terhadap nasib malang yang dialami tokoh gubahannya.

Begitu pun dengan kisah-kisah setelahnya. Untuk menyebutnya sebagian, pembaca akan bertemu dengan kisah seorang pedagang yang membiarkan istrinya jadi bahan rayuan pelanggan di tokonya untuk memuluskan praktik tipu-menipu dalam cerpen Si Dulah di Toko Bang Rizal, juga kisah seorang pedagang yang memanfaatkan kematian tetangganya untuk meraup uang dengan dalih hutang dalam cerpen Burung Nasar dan Kutukan Korban Kesembilan, hingga empat fragmen kisah yang tak runut tentang pedagang-pedagang bernasib buruk dalam cerpen Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang yang menjadi judul buku ini.

Sebagaimana sudah saya singgung sebelumnya, sebagai sebuah karya sastra yang tampak mengamini kredo mimesis Aristoteles, pelbagai konflik berbuntut tragedi yang disajikan Ben terasa begitu dekat dengan kita, terlebih bagi orang Jakarta. Di beberapa bagian pembaca mendapati teks-teks yang sarat kritik terhadap kehidupan sosial-budaya ibu kota.

Lebih spesifik lagi, manuver-manuver kritiknya ditujukan sebagai "sentilan tajam untuk orang-orang yang dengan enteng menggunakan agama untuk semua perkara" sebagaimana termaktub dalam sampul belakang buku ini. Meskipun, ya, sebagaimana lazimnya kritik-kritik dalam sebuah karya sastra, kritik Ben pun tak dapat beranjak lebih jauh dari ruang-ruang abstraksi.

Bagaimanapun, sejatinya, karya sastra hanya bisa mencerminkan sebuah realitas dan tak dapat mengubah realitas yang ada, sekalipun karya tersebut penuh dengan muatan khotbah, misalkan.

Pada akhirnya, jika ada yang harus sedikit dikeluhkan atau disesali dari buku ini, bagi saya, ialah sedikitnya jumlah cerpen yang terhimpun serta harganya yang terbilang cukup mahal. Namun demikian, untuk yang terakhir disebutkan, saya tak begitu kecewa. Sebab, harga yang mahal itu telah terbayarkan dengan sensasi kenikmatan ekstasi-tekstual yang diberikan kesebelas cerpen dalam buku ini.

Mengingat kenikmatan semacam itu tak mudah ditemukan dalam karya-karya cerpenis kontemporer Indonesia lainnya, saya rasa, ia memang layak menagih sedikit lebih banyak isi dompet kita jika ingin menebusnya. Lagi pula, tak ada permata yang harganya murah di belahan dunia mana pun, bukan? (*)