(Tulisan ini pernah dimuat di dialektikareview.org)

Sejak perempuan berjumlah setengah dari populasi manusia, banyak para pengejar keuntungan mencari profit dari kecantikan perempuan dan mulai mengeksploitasi hal itu. Sebagai contoh, misalnya, maraknya produk-produk kosmetik, yang dengan kegemarannya menentukan standar kecantikan seorang perempuan.

Sebagian orang menganggap, bahwa iklan-iklan produk kosmetik adalah salah dua tipu muslihat yang paling mutakhir untuk mengintimidasi sebagian kaum perempuan. Seperti Evelyn Reed, dalam bukunya ini, pun beranggapan demikian. 

Sebagai penulis cum aktivis feminisme, melalui buku-bukunya, Evelyn Reed dikenal sebagai sosok yang “keras” ketika mengkritisi segala tindak-laku struktur sosial masyarakat yang dapat menyakiti seorang perempuan. Bisa kita baca pada narasinya dalam bab-bab di buku ini yang (hampir) selalu diakhiri dengan kritik tajam nan sarkas.


Semasa hidupnya, Reed telah banyak menulis buku. Salah satu bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ialah buku Mitos Inferioritas Perempuan ini. Dalam menulis, Evelyn Reed mengaku bahwa ia banyak terinspirasi oleh karya-karya Marx, Engels, dan Alexandra Kollontai. Maka dari itu, tidak heran jika gagasan-gagasan sosialisme, sangat kentara dalam buku ini. 


Selain produktif dalam dunia tulis-menulis, ia juga aktif di lingkungan sosialnya. Bahkan, pada 1971, bersama rekan-rekannya, ia berhasil mendirikan Koalisi Aksi Aborsi Nasional untuk Perempuan (Women's National Abortion Action Coalition) di Amerika, guna membebaskan hak kaum perempuan untuk melakukan aborsi—yang sebelumnya dilarang oleh pemerintah Amerika.


Selain dikenal sebagai penulis dan aktivis feminis, Reed juga dikenal sebagai seorang antropolog. Untuk profesinya yang satu ini, ia telah meneliti bahwa inferioritas yang kerap disematkan pada perempuan, adalah mitos belaka. 


Melalui buku ini, ia menentang segala bentuk mitos yang menyatakan bahwa kodrat perempuan selalu menempati posisi inferior. Menurutnya, dan sesuai dengan studi historisnya, bahwa di jaman dulu, perempuan selalu menempati posisi yang setara dengan laki-laki. Sebab, sistem sosial dalam masyarakat primitif, menggunakan sistem matriarkat—sebuah sistem pengelompokan sosial yang menjadikan seorang ibu sebagai kepala dan penguasa seluruh keluarga, bukan sistem patriarkat seperti yang terjadi di struktur sosial masyarakat kontemporer ini.


Tentu saja sistem matriarkat bukanlah sistem pembalikan dari sistem patriarkat. Sebab, “Kepemimpinan perempuan dalam masyarakat primitif tidak didirikan atas perampasan terhadap hak laki-laki. Itu karena di masyarakat primitif tidak mengenal adanya kesenjangan sosial, inferioritas atau diskriminasi atas berbagai hal. Di masyarakat primitif secara keseluruhan bersifat egaliter.” (Hal 40)


Perbedaan mencolok antara masyarakat primitif yang tanpa kelas dengan masyarakat yang sudah terbagi-bagi dalam kelas-kelas sosial yang mendasari awal-mula penindasan terhadap kaum perempuan, yakni bisa kita lihat pada poin-poin penting yang dijabarkan Engels dalam bukunya Origin of The Family, Private Property, and the State—yang telah diurai oleh Reed dalam buku ini secara ringkas. Salah satu poin penting tersebut ialah, tak adanya aparatur negara yang mengatur pemerintahan dalam masyarakat primitif. Di masyarakat primitif, pemerintahan dijalankan secara demokratis, semua anggota masyarakat memiliki hak yang setara, termasuk perempuan. 


Maka dari itu, melalui buku ini, Reed sampai pada kesimpulan bahwa, penundukan terhadap kaum perempuan dimulai sejak adanya pembagian kelas dalam masyarakat. Karena menurutnya, pada zaman komunal primitif, perempuan memiliki kebebasan dari segala aspek kehidupan di jaman itu. Baik di ranah politik, seksual, dan lainnya. Bahkan, beberapa kali ia menegaskan, bahwa pengembangan budaya dari zaman prasejarah sampai ke zaman kapitalisme modern, tak terlepas dari peranan penting kaum perempuan. 


“Menjadi tugas kita bersama untuk menunjukkan bahwa sistem kapitalis adalah sumber kejahatan, dan dengan mesin propagandanya, mereka menipu perempuan bahwa jalan menuju kehidupan dan cinta yang sukses adalah melalui pembelian barang-barang (kosmetik). Memaklumi atau menerima standar kapitalis dalam bidang apa pun, mulai dari politik hingga urusan kosmetik, akan menopang dan melanggengkan sistem keuntungan yang kejam ini dan terus mengorbankan perempuan.” (hal 100)


Dengan bukti-bukti peranan penting kaum perempuan membangun peradaban dalam masyarakat primitif di buku ini, pembaca akan mendapatkan suatu bantahan terhadap mitos-mitos yang menyatakan bahwa perempuan selalu menjadi jenis kelamin yang inferior. Juga, melalui teori-teori matriarkal yang tertuang dalam buku ini, pembaca akan menemukan bahwa jauh dari sekedar terkungkung di rumah belaka, perempuan adalah pencipta dan pemelihara organisasi sosial pertama umat manusia. Sedikitnya, buku ini membuat pembaca sadar bahwa degradasi yang dialami kaum perempuan, sebenarnya tak terlepas dari kejamnya jerat budaya patriarki dan kapitalisme.*