(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jawa Pos pada 21 Juni 2020)


JUDUL BUKU: Kaum Novel: Ketabahan dan Derita
PENULIS: Setyaningsih dan Widyanuari Eko Putra
PENERBIT: Basabasi
CETAKAN: Pertama, Desember 2019
TEBAL: 164 halaman
ISBN : 978-623-7290-48-3

KERAP kali saya membayangkan hubungan penulis, karya sastra, dan kritik tak ubahnya hubungan seorang nakhoda (penulis) dengan awak kapal (kritikus) di dalam sebuah kapal (karya). Tidak mungkin dapat dipisahkan.

Nakhoda beserta awak kapal harus berdampingan mengibarkan layar kapal dan menjaga keseimbangannya di tengah arus dan gemuruh ombak ”lautan kesusastraan”. Hubungan nakhoda dan awaknya mesti berjalan selaras untuk mengendalikan kapal dengan baik.

Tak dapat dimungkiri, kapal akan karam jika kehilangan kendali. Singkatnya, hubungan antara penulis, karya, dan kritikus tidak dapat dipisahkan untuk menjaga keseimbangan ekologi sastra. 

Adapun menurut Abdul Wachid B.S. dalam Sastra Pencerahan (Basabasi, 2019), untuk menjaga keseimbangan ekologi sastra, khazanah kesusastraan kita membutuhkan lebih banyak kritikus sastra yang kompeten.

Setyaningsih serta Widyanuari Eko Putra melalui buku kompilasi resensi novel terbarunya, Kaum Novel (Basabasi, 2019), tampak seolah mengamini dan mempraktikkan kredo yang disampaikan Abdul Wachid itu.

Tetapi, meski keduanya tampak berusaha mempraktikkan kredo tersebut, alih-alih ingin diaku sebagai kritikus, keduanya memilih disebut sebagai kaum novel. Saya mendefinisikan kaum novel ialah kaum yang melakukan pekerjaan literer dengan membaca ratusan atau bahkan ribuan novel. Namun, perlu digarisbawahi, selain membaca, mereka juga menulis: menuliskan ulasan singkat yang cerdas atas novel-novel yang mereka baca.

Saya rasa, kaum novel hadir di waktu yang tepat. Waktu di mana arus informasi begitu mudah dilacak oleh para pengguna gawai sehingga tak jarang mata masyarakat terbiasa dibanjiri informasi ”dusta”. Sebab, kurang cakap memilah informasi yang baik bagi dirinya sendiri. Itulah yang lantas kerap menyebabkan mampatnya kinerja otak, yang pada akhirnya melulu terjebak dalam paradigma partisan.

Buku ini menghimpun 27 resensi novel. Novel-novel yang diresensi berasal dari berbagai penjuru. Sebagaimana awak kapal yang melayar, keduanya ”berkelana” ke Timur hingga ke Barat, dan tak luput jua mengitari Indonesia.

Seusai perjalanan panjang itu, keduanya berusaha mengabarkan sebaik-baiknya perkara novel-novel yang mereka dapati, mulai yang bagus sampai yang buruk, kepada sidang pembaca. Barangkali, novel-novel yang mereka kabarkan sudah tak asing bagi kita.

Melalui kritik-kritik maupun apresiasi yang disampaikan dalam buku ini, bagi saya, semakin meyakinkan kita bahwa keberadaan kaum novel menjadi amat penting untuk menyeimbangkan ekologi kesusastraan kita.

Keduanya juga jeli menilik segala aspek yang membangun novel yang mereka resensi. Mulai sampul, logika bahasa, hingga kesalahan eja. (*)