(Tulisan ini pernah dimuat di voxpop.id)

Selain dikenal dengan noveletnya, Metamorfosis, Franz Kafka juga dikenal dengan suratnya yang ia tujukan kepada ayahnya, Hermann Kafka. Surat untuk Ayah (Brief an den Vater) itu berisi gugatan untuk ayahnya yang ia anggap sebagai diktator kecil di rumahnya.

Kafka menulis surat protes tersebut pada 1919, tepat saat usianya ke-36. Dengan sarat emosi, Kafka berulang kali menggunakan diksi “tiran” untuk menggambarkan sosok ayahnya, yang secara tidak langsung memberikan gambaran kepada kita betapa riskan hubungan antara ayah dan anak.

Sebagai “tiran”, Hermann Kafka kerap berlaku sewenang-wenang. Ia menjadikan anaknya seperti boneka yang kewajibannya hanya tunduk dan patuh terhadap segala keinginannya. Dan, ketika perilaku anaknya tak sesuai dengan keinginan, Hermann akan bersikap kasar.

Seperti yang diceritakan oleh Kafka bahwa sejak kecil ia selalu dimaki-maki oleh ayahnya ketika berbuat salah, tak peduli ia telah meminta maaf berulang kali. Makian itu telah menggurat luka di benak Kafka yang tak pernah bisa ia lupakan, meskipun telah beranjak dewasa.

Kenyataannya, sampai saat ini masih banyak sosok ayah seperti Hermann Kafka, terutama dalam lingkungan yang sangat patriarkis seperti di Indonesia. Bukan tak mungkin, sosok semacam Hermann Kafka itu adalah ayahmu sendiri.

Tidak terlalu sulit mengendus keberadaan atau mengidentifikasi sosok semacam Hermann Kafka di lingkungan kita. Ciri yang paling jelas adalah sosok ayah yang kerap memaki dan menghakimi anak tanpa alasan masuk akal. Bahkan, pada titik tertentu, ia suka memukul anak ketika terjadi masalah dalam relasinya dengan si anak. Sebab segala permasalahan yang timbul dianggap sebagai kesalahan anak belaka.

Sering kali, ayah semacam itu adalah figur yang sangat konservatif. Dengan merasa berkuasa dan selalu benar, ia kerap memaksakan pandangan-pandangan yang ia amini untuk diejawantahkan oleh sang anak.

Ironisnya, hal seperti itu jarang disadari oleh para ayah konservatif. Karena bagi mereka, hal itu adalah sesuatu yang ‘wajar’ belaka. Dengan dalih ‘kewajiban orangtua mendidik anak’, mereka menghalalkan segala cara untuk menerapkan nilai-nilai, norma-norma, hingga paradigma yang mereka yakini sepenuh hati sebagai kebenaran mutlak terhadap sang anak.

Tentu saja, kita tahu, pola asuh semacam itu dampak buruknya amat besar terhadap perkembangan anak. Tak dapat dimungkiri, anak yang dididik oleh ayah konservatif semacam itu akan kehilangan daya kreativitas dan kemandiriannya. Dan, ketika hal itu terjadi, maka hilanglah sebuah keharmonisan dalam relasi antara ayah dan anak seperti yang dialami oleh Franz Kafka dengan ayahnya.

Penting diingat bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya mencakup kekerasan fisik atau seksual, tetapi juga kekerasan emosional, pengabaian, dan eksploitasi. Lebih lengkap, menurut dokumen Convention on the Rights of the Child (1989), kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan, pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual.

Saya masih ingat betul bagaimana masa kecil tak pernah lepas dari segala tindak kekerasan yang ayah saya lakukan, baik kekerasan fisik atau emosional, yang menjadikan saya di masa lampau menjadi begitu penakut dan kehilangan rasa percaya diri. Belum lagi, beberapa kisah getir teman-teman yang memiliki problem serupa dengan ayahnya, baik pada masa lampau atau masa kini.

Bagaimanapun, apa yang kami alami bukanlah suatu pemandangan yang baru. Berdasarkan Ending Violence in Childhood: Global Report 2017, seperti dilansir Tirto.id, sebanyak 73,7% anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah.

Itu baru data tahun 2017. Berapa banyak jika dijumlah dengan data pada tahun-tahun sebelumnya serta setelahnya, atau bahkan sampai tahun ini? Berapa pun jumlahnya, saya hanya berharap jumlah itu kian hari kian berkurang. Tetapi tentu saja, setiap harapan hanya akan menjadi harapan semu belaka jika tidak diejawantahkan dengan segenap daya dan upaya.

Demi mewujudkan harapan itu, saya sangat merekomendasikan surat yang pernah ditulis Kafka untuk ayahnya kepada semua ayah yang membaca tulisan ini. Bagaimanapun, bagi saya, surat Kafka telah mewakili anak-anak korban kekerasan yang ingin protes, namun belum mampu atau takut bersuara hingga hari ini. (*)