(Tulisan ini pernah dimuat di ruangliterasi.com)

Florentino Ariza menyambangi kediaman Fermina Daza usai mendengar kabar Dr. Juvenal Urbino, suami Fermina Daza, meninggal dunia. Alih-alih datang melayat, Florentino Ariza datang untuk menyatakan cintanya pada Fermina Daza setelah 51 tahun 9 bulan 4 hari lamanya menunggu perempuan itu berpisah dengan suaminya.

Jika Anda telah membaca Love in the Time of Cholera gubahan Gabriel Garcia Marquez, terang sudah bahwa kecerobohan atas nama cinta itu dilakukan oleh seseorang yang sudah berusia senja. Tanpa perasaan sungkan sedikit pun, di umurnya yang ke-76, Florentino Ariza menyatakan cintanya di tengah ratap-duka keluarga serta pelayat yang berhamburan di rumah Fermina Daza.

Sekilas, jika dipikir-pikir hal tersebut tampak tidak masuk akal. Bukankah terasa ganjil melihat seorang yang—maaf—sudah meruapkan bau kematian, menyatakan cintanya kepada seorang yang sudah berumur pula? Terlebih, menyatakan cinta kepada orang yang baru saja ditinggal mati suaminya.

Bagi para pembaca setia Gabo, mungkin akan berang membaca pernyataan saya dan berkelit bahwa itu hanyalah fiksi atau sekalipun novel itu diangkat dari kisah nyata, Florentino Ariza berlaku demikian karena Fermina Daza adalah cinta pertamanya. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan Florentino tetap masuk akal.

Awalnya saya memang meragukan hal itu. Tapi setelah melihat lika-liku percintaan seorang tua dalam kehidupan nyata, saya jadi menimbang-nimbang apa yang semula saya anggap tidak rasional tersebut. Bagaimana tidak? Wong hal itu terjadi belakangan ini pada bapak saya.

Ya, setelah genap setahun lebih ibu saya meninggal, bapak saya mulai jatuh cinta lagi pada seorang perempuan yang juga mantan istri temannya. Saya tidak tahu bagaimana semua itu bermula dan saya juga tidak tahu pasti apakah perempuan itu cinta pertama bapak saya. Yang jelas, seperti kebanyakan orang yang sedang jatuh cinta, tindak-polah bapak saya menjadi amat gegabah dan ia juga menjadi amat emosional belakangan ini. Pokoknya tak jauh berbeda dengan Florentino Ariza.

Misalnya, belakangan bapak saya kerap berseloroh menjuluki dirinya sebagai duren (duda keren). Tak ada salahnya, sih, memang. Toh, niatnya gurau belaka. Tapi, kan, jadi ganjil juga rasanya kalau tiap berbicara dengan rekan-rekannya, ia terus-menerus memamerkan julukannya tersebut sambil terbahak-bahak. Terlebih ketika berbicara melalui gawai—dengan suaranya yang menggeletar membelah udara sebagai ciri khas bapak-bapak ketika teleponan.

Kalau sekali-dua kali mungkin saya masih bisa maklum. Sebab, zodiak bapak saya ini Leo. (Kita tahu, Leo memang gemar membangga-banggakan diri sendiri. No debat.) Tapi kalau frekuensinya semakin kuat, kian hari apa yang bapak saya lakukan itu jadi terasa menjengkelkan. Belum lagi ketika ia menyebut perempuan yang ia cintai kepada rekan-rekannya sebagai jahe (janda herang).

Di sisi lain, yang tak kalah menyebalkan dan kerap terjadi dalam diri seseorang yang sedang jatuh cinta, bapak saya menjadi amat emosional. Nahasnya, beliau kerap tak mahir mengelola emosinya tersebut. Dan pada titik inilah, saya merasa beliau menjadi teramat tidak bijak di umurnya yang sudah setengah abad lebih.

Sebagai contoh, misalnya, saya pernah melihat, suatu hari bapak saya murung dan mengurung diri di kamar hampir sehari penuh. Awalnya saya kira beliau sedang merasa tidak enak badan. Tapi setelah saya intip-intip kamarnya, ternyata beliau sedang melamun, lalu menatap layar ponsel, lalu melamun lagi, lalu menatap layar ponsel lagi. Dan setelah agak lama, beliau melakukan panggilan telepon. Tapi, panggilannya tak terjawab. Untuk beberapa saat beliau berlaku demikian hingga pada percobaannya melakukan panggilan telepon ke sekian kalinya tak terjawab juga, beliau mulai meracau dan meluapkan amarahnya pada saya yang sedari tadi hanya diam mengamatinya. Ironis, bukan?

Saya tidak sedang mengarang cerita. Hal ini benar-benar terjadi. Awalnya, saya pun agak terkejut melihat gelagat-gelagat bapak saya yang seperti itu. Kendati beliau tidak segegabah Florentino Ariza, namun perubahan-perubahan kondisi psikologisnya itu tetap menyebalkan bagi saya. Ironisnya (atau mungkin uniknya?), apa yang tampak menyebalkan itu bisa menjadi amat lucu jika dilihat dari sisi lain.

Demikianlah, bertolak dari perubahan sikap yang bapak saya alami belakangan ini, akhirnya mau tak mau saya mencari dan membaca berbagai artikel untuk memastikan bahwa apa yang terjadi pada bapak saya adalah suatu hal yang normal-normal belaka. Dan akhirnya, salah satu artikel menyatakan bahwa bapak saya sedang mengalami masa pubertas kedua.

Istilah pubertas kedua sendiri memang tak ada dalam istilah medis. Tapi, ia sering juga diartikan sebagai midlife crisis; sebuah kondisi di mana seseorang mengalami kumpulan gejala psikologis yang cukup kompleks. Meskipun banyak ahli yang menyangkal wacana tersebut, tapi tak sedikit pula yang membenarkannya.

Konon, pubertas kedua biasa terjadi pada seseorang berusia 40 hingga 65 tahun. Gejala-gejala pubertas kedua kerap diidentikkan dengan seseorang yang secara impulsif bertindak-polah laiknya orang-orang yang mengalami masa pubertas awal. Seperti genit terhadap lawan jenis, gegabah, dan tak bijak menyimpulkan suatu hal sebagaimana mestinya seorang yang telah berumur.

Mengutip pernyataan dr. Aditya Suryansyah Semendawai, “Dalam medis nggak ada yang namanya puber kedua. Itu hanya istilah karena pada usia di atas 40 tahun tingkah laku orang hampir sama seperti anak yang baru puber.”

Lebih lanjut, beliau juga menegaskan bahwa pada usia tersebut, kaum pria terlihat lebih banyak menunjukkan gejala puber kedua. Hal ini dikarenakan dorongan seksual yang kerap dijadikan lambang kejantanan dan kapasitas seksual juga mulai mengalami kemunduran seiring bertambahnya usia. Proses alami inilah yang biasanya ditolak oleh sebagian pria yang justru mencoba membuktikan sebaliknya. Beberapa pria mengalihkan perasaan ini ke dalam bentuk kesuksesan, ambisi, agama, olahraga, hobi baru atau lainnya.

Kendati dikatakan kaum pria cenderung lebih banyak menunjukkan gejala puber kedua, bukan berarti kaum perempuan tak bakal mengalami hal serupa. Oleh sebab itu, agaknya kita mesti sama-sama mulai memikirkan orang-orang sekitar kita yang usianya berkisar 40-65 tahun. Barangkali, tanpa sepengetahuan kita, mereka sedang mengalami pubertas kedua. Bagaimanapun, kita tahu, lazimnya ketika seseorang berada di masa pubertas, orang itu kerap tak dapat mengontrol diri dengan baik. Karenanya dibutuhkan juga kontrol orang-orang di sekitarnya.

Kita bisa saja mengarahkan mereka untuk melakukan hal-hal positif. Seperti tekun berolahraga, misalnya. Bagaimanapun, bantuan seperti ini jauh lebih baik dan memiliki dampak positif ketika seorang tua sedang mengalami masa pubertas kedua, ketimbang mengajak mereka mengikuti kursus poligami seperti yang belakangan marak di mana-mana, misalkan. Atau bahkan, bisa saja di tengah pandemi ini kita membantu mereka dengan mengadakan webinar yang membahas secara kompleks wacana pubertas kedua tersebut. Jadi, perbincangan kita perihal bapak-bapak atau ibu-ibu secara khusus, dan orang tua secara umum, tidak mandek di jokes garing khas bapak-bapak belaka atau kebiasaan berkendara ibu-ibu yang sen kanan tapi belok kiri itu. (*)