(Tulisan ini pernah dimuat di Kolom detik.com)

Judul Buku: ForgulosPenulis: Aveus Har; Penerbit: Basabasi, Maret 2020; Tebal: 152 Halaman


Salah satu kekhasan yang menonjol dari manusia adalah kemampuannya mengkhidmati tiga dimensi waktu: lampau, kini, dan menjelang. Ketidakmampuan menghidupkan salah satu dimensi hanya akan membuat manusia menjadi tuna sejarah. Dan, keengganan menghidupkan dimensi yang silam menjadi salah satu persoalan serius yang sering kita lihat. Dari waktu ke waktu, tidak sedikit orang gampang berurusan dengan hal yang sama (telah terjadi), lagi dan lagi.

Dalam konteks polemik kebenaran ajaran agama, kita sering melihat orang-orang bertikai saling memperebutkan "kebenaran" masing-masing ajarannya; bersitegang, berangsur kemudian melupakan. Setelahnya, kita tahu, polemik yang sama terulang kembali untuk kemudian saling bersitegang lagi seraya menuding "kafir" satu sama lain. Tak berkesudahan.

Persoalan berbuntut malapetaka seperti itulah yang berusaha disuguhkan Aveus Har dalam novelnya yang berjudul Forgulos ini. Karya yang memenangkan Sayembara Novel Basabasi 2019 dengan mengalahkan hampir 1700-an naskah ini berusaha menggambarkan sebuah ironi yang tak berkesudahan dan terus berulang.

Forgulos terutama bercerita tentang kehidupan para vuloses di Vulos, lembah subur di tepi pantai yang terimpit bukit hijau. Dikisahkan kehidupan vuloses semula berjalan damai dan tenteram. Aveus berusaha mempertahankan stereotip gambaran kehidupan "masyarakat primitif" pada umumnya yang belum terjamah oleh peradaban luar, hingga kemudian tubuh Arthur ditemukan mengambang di pantai Vulos dan mengubah stagnasi kehidupan para vuloses.

Lebih dari sekadar mengubah, diam-diam kehadiran Arthur di tengah-tengah vuloses justru telah membuka tabir atas malapetaka yang akan terjadi di lembah nan damai tersebut. Sebab seluruh tragedi yang terjadi di Vulos, baik di masa lalu maupun di masa yang mendatang, bermula karena kehadiran forgulos --sesuatu yang asing.

Adapun Arthur adalah seorang Priusta Quosa (Serdadu Tuhan) dalam agama Quos --sebuah agama yang mempercayai Quo sebagai perwujudan Tuhan dalam sosok manusia yang menunjukkan Jalan Kebenaran. Semua bermula ketika di tempatnya tinggal, bersama tiga puluh Serdadu Tuhan serta sepuluh Pelayan Tuhan dan awak-awak kapal, Arthur diutus oleh Kaisar untuk melayar ke berbagai penjuru untuk menyerukan ajaran agamanya, Misi Suci Agama Quos.

Sebagaimana titah Kaisar, pelayaran itu hanya akan berhenti oleh dua hal, menemukan daratan atau ditelan lautan. Tersebab oleh pusaran angin di tengah samudera, kapal yang ditumpangi para utusan Kaisar itu telah lebih dulu porak-poranda sebelum menemukan daratan yang kelak menjadi tempat Arthur beserta rekannya menjalankan misi suci mereka. Hanya Arthur yang berhasil selamat dari badai dan pusaran angin yang menghantam kapal tersebut.

Ditopang oleh bongkahan kapal yang didorong oleh dua lumba-lumba, sampailah tubuh Arthur di lembah Vulos dan ditemukan oleh dua nelayan vuloses. Di Vulos ada Konstitue Vulos (Dewan Konstitusi) yang memerintah dan memastikan keberlangsungan hidup para vuloses. Ada empat belas Komitus (komite) yang mewakili
masing-masing klan atau marga di Konstitue Vulos. Sehingga gedung dewan konstitusi di sana disebut sebagai Rumah Empat Belas.

Dari empat belas Komitus, hanya Bero yang menolak Arthur, sebagai forgulos --sesuatu yang asing-- untuk diterima hidup bersama para vuloses di Vulos, sebagaimana anjuran nenek moyang vuloses untuk selalu menjauhi forgulos.

Sebagaimana misi awalnya, ketika sudah bertahun-tahun tinggal dan mampu berbahasa dengan para vuloses, Arthur mulai menyerukan ajaran agama Quos serta diizinkan membangun Chuosa, tempat peribadatan agama Quos. Semula para vuloses adalah orang-orang atoses --tak beragama, tetapi meyakini adanya Tuhan. Tetapi diam-diam, jauh sebelum kedatangan Arthur beserta ajaran agama Quos, Elua, salah satu Komitus di Rumah Empat Belas dan sebagian besar vuloses, telah menganut ajaran agama Freos, agama monoestik yang menyembah Freo sebagai Tuhan yang tunggal dan meyakini Muos sebagai leluhur serta nabi agama Freos.

Lalu cerita bergulir hingga para vuloses yang mulanya atoses, masing-masing memeluk satu agama, Quos atau Freos, dan tetap hidup berdampingan, kecuali Bero yang tetap memilih menjadi atoses dan mengasingkan diri di gua di atas bukit. Hingga beratus-ratus kemudian, terjadi malapetaka di lembah tersebut.

Malapetaka yang tak berkesudahan dan terus berulang itu diinformasikan oleh Aveus melalui pertanyaan serta pengamatan para vuloses terkait runtuhan puing-puing bangunan yang terbuat dari baja dan beton di sekitar mereka. Sebab jauh sebelum tubuh Arthur mengambang di pantai Vulos, pernah ada suatu peradaban "maju" di Vulos. Sebagaimana tulisan yang tercantum di sampul belakang buku ini:

Ada bekas-bekas peradaban yang tak mampu mereka bayangkan di Vulos, namun tidak ada cerita masa lalu yang diturun-temurunkan selain anjuran, 'Jauhi forgulos, usir forgulos!'

Melalui plot utama tersebut premis novel ini dibangun: sejarah selalu berulang pada dirinya sendiri, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon --berangkat dari ungkapan terkenal Karl Marx dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. (Atau mungkin premis yang lebih tepat ialah, sejarah selalu berulang pada dirinya sendiri, pertama sebagai tragedi, kedua tetap sebagai tragedi).

Hal tersebut bisa dilihat bagaimana Aveus mengakhiri bab 11: Vulos kembali menjadi suku yang tidak terhubung dengan dunia luar, bertahun-tahun lamanya mereka taat pada petuah moyang untuk mengusir dan menjauhi forgulos. Namun, selama tahun-tahun itu mereka tidak tahu apa atau siapa yang dimaksud moyang mereka itu, hingga... Dan bagaimana Aveus mengawali bab 12 novel ini: ...dua ratus tahun kemudian, sesosok tubuh mengambang di pantai Vulos.

Ketika membaca paragraf penutup dan pembuka tadi, tampak jelas bahwa paragraf tersebut adalah paragraf yang utuh. Demikianlah Aveus menyajikan kisah kepada kita. Ia memberikan penegasan setelah kolofon, sebelum daftar isi:

Perhatian! Jika kau menyimak (membaca) cerita (novel) ini dari bab dua belas, memang demikianlah (kisah ini diceritakan).

Kritik Keberagamaan

Forgulos seolah hadir sebagai kritik atas laku keberagamaan masyarakat dewasa ini yang, kita tahu, sering kali bertikai menuding kafir satu sama lain. Ada kecenderungan gagasan "spiritualisme kritis" dalam novel ini. Meminjam definisi Ayu Utami yang sebelumnya membawa gagasan ini dalam novel Bilangan Fu (2008), spiritualisme kritis adalah keterbukaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis: sikap kritis terhadap kebenaran yang dibawa oleh seluruh agama tanpa menimbulkan sikap anti terhadap agama itu sendiri.

Munculnya konsep spiritualisme kritis dalam Forgulos mulanya dipicu oleh perbedaan paham kebenaran antara penganut Agama Quos dan Agama Freos, khususnya kebenaran tentang sifat-sifat ketuhanan, lalu berlanjut dalam ranah sosial, politik dan ekonomi. Perbedaan paham yang berujung pada pertikaian, bahkan peperangan antara pemeluk masing-masing agama.

Permasalahan spiritualisme kritis diinformasikan oleh Aveus melalui laku kritik dua tokoh lintas generasi, Bero dan Obre. Keduanya semacam anomali yang sama-sama terasing. Keduanya enggan menjadi pemeluk agama Quos maupun Freos kendati mereka tetap percaya terhadap keberadaan Tuhan di alam semesta.

Keberanian Aveus menyajikan kisah dengan tema yang terbilang rumit ini tentu saja patut diapresiasi. Ia mampu menyajikan cerita menarik dengan narasi-narasi yang memikat dan tampak berusaha menghindari narasi yang bersifat didaktis.

Sebagai novel eksperimental berisi pelbagai konflik yang tidak klise ditambah sedikit bumbu romantisme di dalamnya, bagi saya, ia memang layak keluar sebagai pemenang sayembara. Sungguh karya yang patut dirayakan! (*)