Judul : TUHAN ITU ‘MAHA SANTAI’, MAKA SELOWLAH…
Penulis : Edi Ah Iyubenu
Penerbit : DIVA Press
Cetakan Pertama, September 2019
Tebal : 180 halaman
ISBN : 978-602-391-789-1
Peresensi: Mohammad Lutfi Maula

Resensi ini pernah dimuat di PojokPIM.com  

Kendati Indonesia memiliki latar belakang heterogenitas keagamaan, Islam tetap menjadi agama mayoritas saat ini. Dan, mayoritarianisme itu melulu tampil dalam bentuk yang peyoratif. Dalam kehidupan kontemporer, Islam dengan sifatnya yang universal, kerap dirusak citranya oleh pemeluknya sendiri. Dengan melupakan rasa kasih-sayang yang dianjurkan, segelintir orang gagal menunjukkan wajah Islam yang natural. Tak sedikit dari kita yang peduli akan hal ini.



Cover buku TUHAN ITU ‘MAHA SANTAI’, MAKA SELOWLAH…
Melalui buku ini, kita diajak untuk bersikap inklusif terhadap segala jenis kebenaran, juga keyakinan yang dianut oleh orang lain. Baik yang sifatnya individual, maupun komunal. Lihat, misalnya, bagaimana penulis memberi jabaran mengenai Kemaha-santaian Tuhan. Sebegitu kokoh-Nya Kemahakuasaan Allah Swt, sehingga Dia Swt pun, ‘santai saja’ memberikan kebebasan kepada seluruh manusia untuk beriman atau kufur kepada-Nya, sebagai ujian siapa yang paling baik iman dan amalnya selama hidup di dunia ini, untuk kelak di akhirat dibalas-Nya dengan balasan yang Maha Adil, maka seyogianya kita pun ‘santai saja’ terhadap segala kemajemukan hidup ini”. (hal 12)
Pada hakikatnya, sebagai orang yang yakin akan segala Kemahaan Allah Swt, tentu sah-sah saja jika kita menggunakan kata ‘santai’ untuk menggambarkan salah satu Kemahaan-Nya, kendati kata itu tak termaktub dalam asma Allah yang 99. Dalam pengantarnya, buku ini menjelaskan; “Bahkan Gus Mus dalam suatu pengajian, pernah menggunakan istilah begini: Allah itu adalah Dzat Yang Maha Semau Gue. Menjadi sah-sah saja rasanya sekalipun Gus Mus menggunakan istilah demikian. Toh, apa pun yang Allah kehendaki terjadi, maka terjadilah, kun fayakun.”

Dari buku ini, pembaca dapat menghadirkan beberapa simpulan atas problematika kebenaran ajaran Islam yang kerap diperdebatkan di Indonesia. Karena bagaimanapun, kita yang hidup belakangan ini bahkan acap bersikap lebih adiluhung dalam meletakkan kebenaran yang kita yakini dan ikuti ketimbang sikap para sahabat Rasulullah Saw dan generasi salafus shalih berikutnya. Padahal jelas sekali keilmuan kita semakin jauh jaraknya dari sumber pertama otoritasnya (Rasulullah Saw), dan realitas hidup kita sendiri makin ruah bagai bah tak menemukan contoh analogisnya dari khazanah sumber pertama otoritasnya. (hal 45)

Lebih jauh lagi, penulis memberikan gambaran terhadap beberapa hukum syariat Islam yang kerap diperdebatkan di Indonesia. Sebagai contoh, hukum kebolehan wanita salat berjamaah di Masjid, dengan modal ragam cakap sehari-hari yang luwes, buku ini berhasil mengurainya secara komprehensif. Dengan metode tematik penulis mampu mengurai penjelasan dalil satu dengan dalil lainnya, sehingga dapat diterima dengan akal sehat, bukan sekadar menakwil dengan hawa nafsu. Jika kita cermati dengan saksama menggunakan metode kajian tematik antara hadis-hadis yang melarang perempuan bersalat jamaah di masjid dengan yang membolehkan, niscaya kita memahami bahwa tampaknya poin pokok hukum tersebut yang menjadi musabab bagi lahirnya hukum tersebut bukan terletak pada pergi/tidaknya ke masjid. Tetapi menunjuk “kondisi khusus” yang secara nyata melingkari seorang perempuan dan perempuan lainnya (yang tentu tak sama). (hal 147)

Lebih lanjut, buku ini pun membahas hampir setiap segi kajian keislaman yang mesti dipahami umat muslim saat ini. Selain dari pada itu, buku ini juga memberi penjelasan terhadap beberapa hukum syariat atas fenomena kekinian. Misalnya, penggunaan aplikasi Face App yang beberapa kali diklaim ‘haram’ oleh sebagian orang. Simak prinsip metode ini: “Jika terkait dengan hukum-hukum yang mutlak (muhkamat, madhah), kaidahnya: semuanya tidak boleh hingga ada dalil yang menyatakan boleh; jika terkait dengan hal-hal yang hukumnya samar (mutasyabihat, zhanniyah, ghairu mahdhah), alias membutuhkan tafsir dan takwil, kaidahnya: semuanya boleh hingga ada dalil yang menyatakannya tidak boleh.” Jangan dibolak-balik, ya. (hal 126)

Dalam buku ini, penulis juga membahas hikayat para tokoh sufistik yang melakukan taqarrub kepada Allah dengan cara yang berbeda-beda. Semisal, Uwais al-Qarny yang mengabdikan hidupnya merawat ibunya yang lumpuh, dapat kita katakan sebagai bentuk taqarrub kepada Allah Swt. Rabi’ah Adawiyah yang mempersembahkan hidupnya hanya untuk mencintai Allah Swt pun salah satu jalan taqarrub kepada Allah Swt. Juga ada Maulana Rumi yang kian berpilin dengan Tarian Sufi sebagai bentuk Sama atau meditasi guna mendekatkan diri dengan Allah Swt. Dan cerita-cerita tokoh sufistik lainnya yang juga melakukan taqarrub dengan caranya masing-masing.

Pada hakikatnya, hanya pribadi kita dan Allah saja yang mampu mengukur kadar keimanan kita masing-masing. Juga, hanya Allah-lah yang berhak menilai kualitas keimanan hambanya, bukan sesama hambanya. Tetap santai menikmati dan mensyukuri apa yang Allah berikan selama ini.

Buku ini hadir untuk mengajak kita menjadi muslim yang ‘santai’, santai dalam arti bukan untuk menyepelekan ajaran-ajaran maupun hukum Islam. Buku ini bisa dijadikan refleksi atas sikap beragama kita, agar tidak mudah bersitegang hanya karena perbedaan pendapat atas hakikat kebenaran ajaran Islam. (*)