(Sumber foto: Koran Jakarta)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Perada Koran Jakarta
Penulis : Anom Whani Wicaksana
Penerbit : C-Klik Media
Cetakan : Pertama, 2018
Tebal : 128 halaman
ISBN : 978-602-5441-46-1
Peresensi: Mohammad Lutfi Maula
Fenomena rasisme dan diskriminasi masih marak di Indonesia. Belum
lama ini, masyarakat Papua menjadi salah satu contoh objek
diskriminatif. Jauh sebelum itu, masyarakat kulit hitam di Amerika pun
pernah menjadi objek diskriminatif oleh kelompok masyarakat kulit putih
Amerika. Salah satu tokoh yang terkenal memperjuangkan hak kesetaraan
ras di Amerika saat itu ialah Martin Luther King Jr.
Martin Luther King, seorang aktivis hak asasi manusia yang selama
hidupnya berusaha mengupayakan perdamaian dan pertentangan terhadap
diskriminasi, rasialisme, penindasan, dan peperangan di seluruh dunia.
Namanya tercatat sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah
modern Amerika yang dianggap sebagai pahlawan perdamaian.
Ia belajar banyak dari cara perjuangan Mahatma Gandhi. Bahkan, dia
pernah dijuluki Black Gandhi berkat perjuangannya menumpas segala bentuk
diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam dengan caranya memilih
jalur perdamaian sebagai tujuan.
Upaya Martin Luther King dalam memerangi rasisme dengan perdamaian,
tak melawan ketidakadilan dengan kekerasan lagi. Ia sangat paham,
kekerasan hanya akan menimbulkan sebuah penindasan baru. Memang tidak
semua masyarakat kulit hitam setuju, tapi dia tetap yakin bahwa dengan
perdamaian masalah ras bisa diselesaikan. Ini yang mengidentikkannya
dengan Mahatma Gandhi (Hal 19).
Perjuangan Martin Luther King menuntut kesetaraan ras sangat sulit.
Dia ditangkap dan dipenjara setidaknya 20 kali. Bahkan, akhirnya tewas
ditembak dalam salah satu aksi damainya di Memphis pada 4 April 1968.
Kendati demikian, dunia tak pernah melupakan. Ia dianugerahi beragam
penghargaan. Ia tercatat sebagai Man of the Year 1963 oleh majalah Time.
Kapasitasnya sebagai tokoh perdamaian dunia, membuahkan Nobel
Perdamaian pada tahun 1964. Dia menjadi peraih Nobel termuda saat itu
dengan usia 35.
Martin mampu membawa perubahan negerinya. Pidatonya yang terkenal “I
Have a Dream” disampaikan pada 28 Agustus 1963. Pidato ini dikenang
sepanjang masa karena impiannya masih relevan hingga sekarang. Waktu
itu, dia memimpikan seluruh manusia bersatu sebagai saudara tanpa
memandang perbedaan rasial.
Sungguh sebuah keberanian di masa orang kulit hitam masih mengalami
diskriminasi. Martin menyampaikan pidatonya di depan 250.000 orang yang
memenuhi halaman muka Lincoln Memorial di Washington DC, AS. Lokasi
bersejarah ini dipilih sebagak simbol perjuangan sekaligus mengingatkan
kembali masa Lincoln melarang perbudakan tepat 100 tahun sebelumnya (Hal
65).
Selain aktif mengampanyekan kesetaraan hak, Martin juga andil dalam
kampanye menentang perang Vietnam. Menurutnya, Amerika telah menggunakan
uang dan sumber kekayaan negeri yang seharusnya buat jaminan sosial
masyarakat Amerika. Dalam berbagai kesempatan dia menyatakan tujuan
pemerintah Amerika melakukan agresi di Vietnam untuk menduduki dan
menjadikan negeri itu koloni. Ini menandaskan bahwa pemerintah Amerika
telah melakukan tindak kekerasan terbesar di dunia.
Banyak pembelajaran yang dapat dipetik dalam buku ini. Keberanian
Martin menyuarakan kegelisahannya terhadap segala bentuk ketidakadilan
patut ditiru. Yang terpenting, Martin memilih jalur perdamaian untuk
menumpas segala tindakan diskriminatif terhadap masyarakat kulit hitam,
alih-alih membalasnya dengan kekerasan. Hilangnya diskriminasi rasial di
Amerika tentu saja tak bisa dilepaskan dari peranan Martin Luther King.
Ia memperjuangkannya sekian lama dan harus menghadapi berbagai
hambatan. Buku ini mengurai secara komprehensif sepak terjangnya
memperjuangkan kesetaraan ras. Buku ini juga mengajak pembaca untuk
menggali inspirasi darinya. (*)
0 Komentar