(Sumber gambar: Biem.co)

Cerpen ini pernah dimuat di Biem.co 

Malam itu, di bawah jembatan layang, Nurman dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang memborgolnya tiba-tiba. Sebelum peristiwa itu terjadi, Nurman ingat. Sebelumnya, ia sedang duduk santai di atas trotoar menunggu seseorang. Dengan secercah cahaya yang ada waktu itu, Nurman melihat sebuah siluet dari ujung trotoar yang berseberangan. Itulah pembeli yang berjanji akan menemuinya di bawah jembatan ini. Nasib tak bertuan. Lelaki yang mengaku sebagai pembeli itu ternyata seorang intel, dan sudah lama mengawasi apa yang Nurman kerjakan selama ini. 

Peristiwa itu sebenarnya sudah 5 tahun berlalu. Berkat peristiwa di malam itu, saat ini Nurman harus mendekam dalam penjara 9 tahun lamanya seusai masa rehabilitasinya setahun sebelumnya. Ia harus mendekam dalam penjara di sebuah pulau nun jauh di seberang sana. 

Sebagai seorang pengedar 'barang haram', Nurman memang harus menjalani kehidupan tak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Ia lebih sering berpindah-pindah tempat tinggal -dari satu kota menuju kota lainnya, untuk terus menjual barang dagangannya dengan aman tanpa menyisakan jejak yang dapat dilacak intel.

Dalam lubuk hatinya, Nurman sendiri sebenarnya tidak pernah memiliki niatan untuk memperdagangkan barang-barang terlarang seperti itu sebelumnya. Namun, saat itu keadaannya terdesak untuk memperoleh pundi-pundi uang dengan jumlah besar dalam waktu singkat. Karena, jika tidak, mata ibunya tak akan pernah bisa ia selamatkan. Nurman mencintai ibunya melebihi rasa cintanya terhadap apa, dan siapa pun. 

Saat ayahnya pergi, Nurman masih sangat kecil, waktu itu ia baru belajar merangkak. Beranjak dewasa, kebencian Nurman kepada ayahnya mulai tumbuh. Dan benci itu makin menjadi-jadi ketika ibunya menerangkan bahwa; ayahnya pergi tanpa alasan meninggalkan mereka berdua begitu saja.

Saat Nurman berumur 15 tahun, ibu Nurman di diagnosa akan buta dalam waktu yang tak lama lagi sebab katarak yang sudah lama dideritanya. Mendengar penjelasan dokter hari itu, Nurman merasa sangat melankolis, ia tak pernah merasa sesedih itu sebelumnya. Karena penghasilan dari menjual jamu gendong yang ibunya kerjakan untuk membiayai hidup mereka berdua selama ini, ia tahu bahwa itu tak akan pernah cukup dan butuh waktu lama untuk membiayai operasi yang dianjurkan dokter. 

Nurman mencari jalan keluar dengan menawarkan jasanya kepada tetangga-tetangganya. Sebagian ada yang menyewa jasa Nurman untuk memangkas kebun hias di halaman mereka, ada juga yang memintanya untuk mengantar-jemput sekolah anaknya, bahkan sampai ada yang memintanya untuk mencucikan pakaian dalam sekaligus. Nurman tak pernah mengeluh terhadap apa yang harus ia kerjakan. Baginya, selama itu mendapatkan upah, maka akan ia kerjakan. 

Pada suatu hari, usai makan siang di warteg. Sesaat Nurman sedang mencungkil sisa-sisa makanan pada sela-sela giginya. Seorang lelaki berbadan tegap, dengan otot bisepsnya yang menonjol, menghampiri Nurman dan mengajaknya berbincang-bincang. Awalnya, Nurman merasa sedikit cemas, ia juga sedikit takut dengan kehadiran lelaki yang tiba-tiba menghampirinya itu. 

“Kau kan itu Nurman? Apakah kau mau menjual barang daganganku?” 

“Ah iya Om. Memangnya barang apa yang harus kujual itu Om?” sahut Nurman.

“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tapi, kau bisa datang ke alamat ini nanti malam kan?” lelaki misterius itu menjawabnya seraya memberikan secarik kertas beralamatkan rumahnya. 

“Baik, aku akan datang nanti malam Om. Maaf sebelumnya, aku harus pergi Om, karena ada yang harus kukerjakan saat ini” 

“Ah, ya, silakan. Aku tunggu nanti malam di rumah. Senang berjumpa denganmu anak muda.” 

“Baik Om, saya pamit dulu.” Seraya mengambil secarik kertas yang disodorkan lelaki misterius itu, Nurman pergi meninggalkannya untuk lanjut mengaduk-aduk semen di rumah tetangganya. 

Sebelumnya, Nurman tidak terlalu memikirkan barang apa yang lelaki itu tawarkan untuk ia dagangkan. Menurutnya, barang yang lelaki itu tawarkan mungkin tak jauh berbeda dengan barang dagangan yang pernah ia dagangkan sebelumnya, pikir Nurman saat itu. Karena sebelumnya, ada yang telah menyewa jasanya untuk memperjual-belikan tisu ke beberapa kios yang ada di pasar. 

Malam datang, saat itu juga Nurman bergegas keluar rumah dan mencari alamat rumah lelaki itu. Tak butuh waktu lama bagi Nurman untuk menemukan rumah lelaki itu. Selain jaraknya yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, ia juga sudah sering bekerja di kompleks perumahan itu sebagai tukang kebun di beberapa rumah yang menyewa jasanya. Saat datang, Nurman disambut dengan hangat oleh lelaki itu seraya mempersilakannya masuk.

Nurman mendahului percakapan mereka malam itu;
“Kapan saya bisa menjual barang yang Om tawarkan itu?” tanya Nurman selepas menyeruput teh hangat yang ada di hadapannya. 

“Besok kau sudah bisa, jika ingin. Barang yang akan kau jual, bukan sembarang barang biasa. Dengan menjual barang ini, penuh risiko yang akan kau tempuh. Tetapi, sebagai imbalannya kau akan mendapatkan pundi-pundi uang dalam jumlah besar dengan sangat singkat. Kau tahu kokain? Itu yang akan kau jual.” Lelaki misterius itu berkata dengan nada yang sangat rendah. 

“Kokain? Kokain itu apa Om? Saya belum tahu, maaf.” Kali ini, Nurman makin penasaran, ia baru mendengar nama barang yang akan ia jual nanti.
“Pelankan suaramu, bodoh!, Kau tidak tahu Kokain? Bisa dikatakan Kokain itu Narkoba. Jadi gimana? Kau mau menjualkannya? Aku tak memaksamu sebenarnya, kau bisa menentukan keputusanmu sekarang.” 
Dengan itikad kuat untuk menyembuhkan mata ibunya, Nurman tak pikir panjang lagi. Ia mengiyakan permintaan lelaki misterius yang belum lama dikenalnya di warteg langganannya siang tadi.

***

Hari-hari berlalu, setiap harinya Nurman selalu merasa sedikit bahagia juga sedikit sedih. Ia bahagia karena dapat menyembuhkan mata ibunya, ia bahagia melihat ibunya dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Di sisi lain, Nurman juga merasa sedih. Ia telah berbohong pada ibunya. Nurman mengatakan pada ibunya, bahwa ia diperkerjakan oleh seorang bos perusahaan besar untuk menjadi pembantu dan pengurus kebun di rumah bosnya. Dan ia katakan bahwa bosnya telah berbaik hati untuk meminjamkannya uang guna melunasi biaya operasi mata ibunya. 

Pada suatu hari, 10 tahun setelah pertama kali ia ditawarkan untuk menjual barang terlarang itu. Nurman sedang asyik menyulut sebatang rokok di kamarnya, lalu telepon genggam miliknya berdering. Seseorang meneleponnya, ia tak kenal dengan nomor yang menghubunginya di siang-siang bolong. Ia sedikit curiga, sebelumnya ia tak pernah memberikan nomor kontaknya kepada sembarang orang. Karena penasaran, ia mengangkat panggilan telepon itu. Ia mengesampingkan rasa curiganya, karena suara di balik telepon itu mengaku ingin membeli barang dagangannya. Akhirnya, mereka berdua berjanji untuk bertemu pukul 11 malam nanti di bawah Jembatan Pati. 

Malam itu tiba, karena peristiwa yang terjadi pada malam itu. Saat ini Nurman sudah mendekam 8 tahun lamanya dalam penjara. Peristiwa itu, benar-benar tak akan pernah Nurman lupakan sepanjang hidupnya. Terlebih lagi, setahun mendatang, ia akan bebas dari penjara. Ia sudah mengumpulkan tekadnya setelah peristiwa malam itu: untuk membunuh intel yang menjebloskannya ke penjara.

***

Malam sebelum ia diborgol dan dibawa ke polsek. Ia terkejut dengan kehadiran sosok lelaki yang sudah ia kenal selama ini. Lelaki yang mengajaknya bertemu di bawah Jembatan Pati itu; adalah lelaki yang memintanya untuk memperjual-belikan 'barang haram' itu selama ini. Dan sudah bertahun-tahun lamanya mereka berdua tak bertemu. 

Saat berjumpa dengan lelaki itu, Nurman menyapanya karena sudah lama tak berjumpa dengannya. Naas ia dapatkan, lelaki yang memintanya menjualkan 'barang haram' selama ini, adalah seorang intel. Ia terkejut saat tangannya langsung diborgol. Karena tak ada rasa curiga sedikit pun, saat itu ia tak sempat melawan. Ia hanya manut mengikuti perintah lelaki itu.

“Mengapa kau melakukan ini? Kau memintaku menjual barang ini, dan kau juga yang menangkapku? Aku tak mengerti maksudmu. Tapi, yang jelas. Aku berterima kasih padamu, berkat pekerjaan yang kau berikan, aku dapat membiayai operasi ibuku.”

Nurman masih bingung dengan keadaan yang dialaminya, ia hafal betul dengan sosok lelaki yang berjalan di sampingnya. Lelaki itu yang menyuruhnya untuk menjual 'barang haram' itu sampai saat ini, namun ia juga yang menangkap Nurman. Sesaat Nurman sedang mengira-mengira apa yang sebenarnya di inginkan lelaki misterius itu. Lelaki itu berkata;
“Maafkan aku, anakku. Aku berpura-pura selama ini. Aku memintamu menjual barang itu agar ibumu dapat segera sembuh. Maaf, saat itu aku tak bisa langsung memberikanmu uang untuk biaya operasi ibumu. Aku juga minta maaf, karena sudah membuat kalian berdua menderita selama ini. Tak ada pilihan lain, aku harus menangkapmu. Karena para intel lainnya akan membunuhmu jika mereka yang menangkapmu. Sebenarnya, aku ingin memberitahumu lebih awal sebelumnya. Namun, aku juga kesulitan mencari tahu keberadaanmu. Tak terasa sudah 10 tahun lamanya. Kau jangan marah padaku, aku hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk kalian berdua. Aku lakukan semua ini, karena aku benar-benar mencintai kalian berdua. Aku sungguh-sungguh.”

Nurman semaput sesaat setelah mendengar apa yang diucapkan lelaki misterius yang mengaku sebagai ayahnya malam itu. Saat sadar, ia sudah berada di kantor polisi. Tak lama kemudian, ia di bawa ke Pusat Rehabilitasi. Dalam mobil yang membawanya beserta beberapa orang yang tangannya ter-rantai bersama, Nurman mengingat kata per kata yang diucapkan lelaki itu. 

“Anakku, anakku katanya? Anjing! Aku akan membunuh lelaki brengsek itu!”  
Gerutu Nurman membangunkan beberapa orang di sampingnya yang sedang tertidur. Mereka semua mengira, bahwa Nurman sudah gila. 
Bekasi, 2019